Neraca pembayaran Indonesia pada 2022 tercatat surplus 4 miliar dollar AS. Kendati surplus, nilai surplus neraca pembayaran ini menurun dibandingkan 2021. Pada 2023, potensi pelemahan kinerja ekspor dan arus modal keluar patut diwaspadai karena berdampak langsung terhadap neraca pembayaran Indonesia.
Mengutip data Bank Indonesia (BI), neraca pembayaran Indonesia (NPI) 2022 tercatat surplus 4,0 miliar dollar AS. Kinerja ini menurun dibandingkan NPI 2021 yang tercatat surplus 13,5 miliar dollar AS. Ini dikarenakan salah satu komponen neraca pembayaran, yakni transaksi modal dan finansial, tercatat defisit, sementara komponen lain, yakni transaksi berjalan, tercatat surplus.
NPI adalah pencatatan transaksi ekonomi Indonesia dengan negara lain atau komunitas global yang berupa perdagangan barang, jasa, investasi, dan modal. Perhitungan NPI terdiri atas dua aspek utama, yakni transaksi berjalan serta transaksi modal dan finansial. Transaksi berjalan merupakan perhitungan dari perdagangan antarnegara atau ekspor-impor Indonesia, sedangkan transaksi modal dan finansial adalah perhitungan laju transaksi investasi ataupun modal dari dan menuju Indonesia.
Transaksi berjalan Indonesia pada 2022 tercatat surplus 13,2 miliar dollar AS, lebih besar dibandingkan 2021 yang surplus 3,5 miliar dollar AS. Surplus transaksi berjalan ini disebabkan oleh kinerja ekspor yang melambung yang didorong pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 25,4 persen secara tahunan sehingga menjadi 275,5 miliar dollar AS. Tingginya kinerja ekspor nonmigas ini dipicu harga komoditas dunia yang tinggi.
Sementara itu, transaksi modal dan finansial pada 2022 tercatat defisit 8,9 miliar dollar setelah pada 2021 masih mencatat surplus 12,6 miliar dollar AS. Jebloknya transaksi modal dan finansial ini dikarenakan arus modal keluar investasi portofolio asing, terutama di pasar Surat Berharga Negara (SBN), seiring persepsi risiko yang meningkat. Dana asing keluar dari Indonesia mencari negara lain yang dinilai memiliki risiko lebih rendah.
Dalam keterangan pers, Senin (20/2/2023), Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan, BI senantiasa mencermati dinamika perekonomian global yang dapat memengaruhi prospek NPI. Pihaknya juga terus memperkuat bauran kebijakan yang didukung sinergi kebijakan yang erat dengan pemerintah dan otoritas terkait guna memperkuat ketahanan sektor eksternal.
Mengutip Laporan Neraca Pembayaran Indonesia Triwulan IV-2022, BI memperkirakan NPI pada 2023 tetap baik sejalan dengan perkiraan makin meredanya risiko ketidakpastian ekonomi global. Pada saat yang sama, perbaikan ekonomi domestik diperkirakan tetap berlanjut, didorong oleh permintaan domestik yang makin kuat. Pelemahan ekspor
Dalam jumpa pers bertema ”Tinjauan Pertumbuhan Ekonomi dan Neraca Pembayaran Indonesia dalam Menghadapi Ketidakpastian Global”, di Kantor Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Senin (20/2/2023), Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri memaparkan, semua pemangku kepentingan perlu mewaspadai potensi pelemahan ekspor yang bisa berdampak pada kinerja NPI.
Ia menjelaskan, tingginya harga komoditas sepanjang 2022 yang membuat kinerja ekspor Indonesia melambung diperkirakan tidak akan bertahan lama dan akan melandai tahun ini. Penurunan harga komoditas dunia dikarenakan rantai pasok global yang sempat terdisrupsi karena perang pada 2022 kini mulai tersusun rapi kembali. Dengan rantai pasok global yang sudah pulih, tidak ada lagi jurang permintaan dengan pasokan komoditas dunia. Harga komoditas pun jadi lebih landai.
Namun, penurunan harga komoditas itu juga berdampak nilai ekspor yang diterima Indonesia akan menurun. Masih melambatnya pertumbuhan ekonomi global, termasuk dari negara-negara mitra dagang utama Indonesia, juga berdampak pada penurunan permintaan volume ekspor Indonesia. Kedua hal itu diperkirakan akan menurunkan kinerja ekspor Indonesia. Penurunan kinerja ekspor ini bisa berpotensi membuat defisit neraca perdagangan. Hal ini bisa berdampak pada kinerja neraca pembayaran Indonesia.
”Penurunan kinerja ekspor ini perlu diwaspadai karena bisa saja membawa defisit pada posisi neraca pembayaran Indonesia,” ujar Yose. Selain kinerja ekspor yang berpotensi menurun, Yose menambahkan, pemangku kepentingan juga perlu mewaspadai melemahnya kinerja transaksi modal dan finansial. Ia menilai ketidakpastian global belum mereda sehingga potensi arus modal keluar pun masih tinggi. Arus modal keluar inilah yang melemahkan kinerja transaksi modal dan finansial.
Untuk mengantisipasi hal ini, Yose menyarankan pemerintah terus melakukan reformasi struktural ekonomi agar bisa menjaga kinerja transaksi berjalan dan transaksi modal dan finansial tetap kuat. Pemerintah tidak boleh lagi berpangku tangan menikmati surplus NPI yang banyak disumbang tingginya harga komoditas, seperti batubara dan produk sawit. Pemerintah perlu mendorong kontribusi ekspor dari komoditas lain dengan cara terus melakukan hilirisasi sehingga menciptakan produk bernilai tambah.
Sementara itu, untuk penguatan transaksi modal dan finansial, pemerintah perlu terus menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk bisa menarik masuk investasi langsung dan investasi portofolio. Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman, memperkirakan, NPI pada 2023 akan dalam posisi defisit sekitar 1,10 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahun 2023 setelah mencetak surplus sekitar 1 persen PDB pada 2022. Faktor pemicunya antara lain kenaikan impor seiring dengan permintaan dalam negeri yang meningkat.